Dewan Pengurus Wilayah Ikatan Dosen Katolik Indonesia (DPW IKDKI) Wilayah Papua Selatan menggelar webinar nasional online dengan tema “Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan serta penguatan Masyarakat Adat Lokal untuk mendukung Keberhasilan Program Strategis Nasional di Provinsi Papua Selatan”, Jumat, 17 Oktober 2025.
Kegiatan yang digelar sebagai bagian dari “road to HUT Ke-6 IKDKI” ini menghadirkan narasumber Bersama narasumber: Ketua Umum DPP IKDKI dan Direktur Pascasarjana Universitas Tarumanagara
Prof. Dr. Ir. Agustinus Purna Irawan, M.T., M.M, IPU., ASEAN Eng; (PhD Candidate Media and Pacific Studies, University of Canterbury, New Zealan, Wensislaus Fatubun; dan Dr. Maria M.D. Widiastuti.
Ketua DPW IKDKI Papua Selatan, Paulus Laratmase mengawali sambutannya dengan mengutip sebuah syair lagi yang bertanya ‘apakah Papua Selatan adalah Taman Eden?’. Hal ini menunjukan bahwa Papua Selatan memiliki kekayaan alam dan budaya yang sangat beragam, namun belum berdampak signifikan bagi masyarakat di sana.
“Maka pembicaraan dalam webinar kita hari ini diharapkan bisa menjadi masukan untuk kita semua bagaimana kita bisa berkolaborasi untuk semakin memperkuat pengembangan manusia di Papua Selatan di hadapan berbagai program pemerinta yang ada,” ujarnya.
Sebagai narasumber pertama, Prof Agustinus Purna Irawan, yang juga akrab disapa Prof Api, memaparkan pandangannya mengenai apa saja yang masih bisa dikembangkan di Papua Selatan.
“Saya tidak ada di Papua. Jadi tentu saja apa yang saya sampaikan ini adalah pandangan saya dari luar. Saya melihat bahwa Papua Selatan punya potensi yang sangat besar, baik itu dari sisi kekayaan alam maupun kekayaan laut. Ini adalah modal yang kuta,” kata Prof Api.
Namun fasilitas dan infrastruktur yang belum memadai menjadi kendala. Maka, menginisiasi konektivitas dan kolaborasi dengan wilayah lain di luar Papua Selatan itu penting. Terkait sumber daya manusia, perlu ada pelatihan vokasional sehingga kita bisa menghasilkan tenaga kerja yang siap.
“Yang dibutuhkan adalah pengembangan sumber daya manusia yang cepat dan siap untuk kerja sehingga memenuhi kebutuhan saat ini. Sebagai dosen kita perlu melihat hal tersebut sebagai peluang untuk dikembangkan secara serius”.
Narasumber kedua, Wensislaus Fatubun menyoroti tentang kearifan lokal Merauke dengan prinsip malind anim. Menurutnya, malind anim menjadi prinsip hidup bersama masyarakat adat, di mana mereka dapat mengelola hutan dan tanahnya berdasarkan nilai-nila adat.
“Yang mestinya dilakukan adalah bagaimana konsep pembangunan yang dicanangkan Pemerintah bisa memberi ruang kepada nilai-nilai adat ini untuk terus eksis. Konektivitas keluarga dan nilai kebersamaan ini justru menjadi modal besar dalam pembangunan masyarakat adat di Merauke dan sekitanrya,” tegasnya.
Narasumber terakhir, Dr. Maria M.D. Widiastuti memaparkan resume dari disertasinya tentang program food estate yang digagas Pemerintah Pusat di Papua Selatan dan bagaimana penerapannya di lapangan, khususnya ketika dihadapkan dengan kepentingan masyarakat adat.
Menurutnya, ada banyak hal yang perlu dikaji lebih dalam dari program ini. Sebab, proses dialog antara Pemerintah dan masyarakat adat yang memiliki hak atas tanah adat, sangat minim. Karena itu, ruang dialog perlu dibuka. Masyarakat adat tentu mau berdialog sejauh hak-hak adatnya tetap diakomodasi dan suara mereka didengarkan.
Maka ruang dialog ini perlu dibuka seluas-luasnya agar program Pemerintah Pusat juga memberikan manfaat bagi masyarakat adat. Karena food estate yang dicanangkan oleh Pemerintah ini keberhasilannya bukan hanya pada perencanaan yang matang, tapi juga bagaimana konsistensi dalam implementasinya dengan melibatkan masyarakat adat dan nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat adat.
(Steve Elu)
Leave A Comment