Bandar Lampung — Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI) Wilayah Lampung menggelar bedah buku Pendidikan, Pelayanan, dan Pemberdayaan: Menjadi Dosen yang Mumpuni dan Melayani di Persimpangan Iman dan Ekonomi karya Prof. Dr. Sri Hasnawati (FEB, Universitas Lampung) dan Yanuarius Yanu Dharmawan (FKIP, Universitas Bandar Lampung).
Kegiatan yang dilakukan sebagai bagian dari “Roat to HUT Ke-6 IKDKI” ini berlangsung hybrid—luring di Ruang Multimedia SMA Xaverius, Bandar Lampung dan daring via Zoom— diikuti dosen dan pegiat pendidikan dari berbagai kampus.
Acara dibuka dengan sambutan singkat lalu pengantar penulis tentang “tiga poros” buku: iman, ilmu, dan pelayanan. Moderator Dr. Drs. J. Johny Natu Prihanto, M.M. (Universitas Multimedia Nusantara) menjaga ritme diskusi tetap hangat, mengalir dari paparan ke tanggapan, lalu tanya-jawab.
Partisipan luring aktif mengangkat isu integritas akademik dan akses pendidikan, sementara peserta daring menambahkan perspektif kebijakan kampus dan pengalaman mengajar di daerah.
Panel reviewer menghadirkan lintas disiplin—teologi, ekonomi, teknik, hingga hukum—antara lain: Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo, Prof. Dr. Ir. Agustinus Purna Irawan, M.T., M.M., I.P.U., ASEAN Eng., RP. Ignatius Swasono, SJ, RP. Leo Agung Srie Gunawan, SCJ, RD. L. Puwroko Subiyanto, dan Prof. Dr. FX. Sumarja, S.H., M.Hum.
Ragam latar belakang ini membuat diskusi tidak berhenti pada wacana, tetapi terus ditarik ke praktik: ruang kelas, riset, pengabdian, dan tata kelola.
Buku ini menyoroti tantangan kampus hari ini—karierisme, komersialisasi, dan rapuhnya integritas—seraya menawarkan sintesis iman–ilmu–pelayanan yang “mendarat” dalam kebijakan dan perilaku sehari-hari.
Kerangka yang ditawarkan bukan hanya teori, melainkan peta jalan: membenahi bahasa akademik agar lebih manusiawi, memihak kelompok rentan, serta menata ekosistem riset dan pembelajaran yang transparan dan berkeadilan.
Para reviewer menekankan peran dosen sebagai agen pemulih martabat dan pembentuk karakter. Mereka mengawali dengan kegelisahan dunia akademik: publikasi yang banyak namun minim daya ubah, serta gelar dan penghargaan yang sering jadi tolok ukur, bukan kebaikan yang dihasilkan.
Karena itu, ditekankan perlunya integritas dan formasi yang kokoh berlandas pedagogi Ignatian—cinta yang menubuh dalam belarasa, “menemukan Tuhan dalam segala,” dan menjadikannya energi kerja ilmiah harian.
Di era AI, dosen tak cukup sebagai penyampai materi; ia harus menjadi agen transformasi yang menuntun mahasiswa pada bonum commune. Tanggapan juga mengajak memaknai profesi dosen sebagai pelayanan rohani yang rendah hati—dari pengakuan rapuh, lahir “pedagogi ilahi”; dari otoritas yang dingin, menjadi pendamping yang mendoakan kejujuran, hingga metafora yang kuat: “papan tulis menjadi altar, kata-kata menjadi doa.”
Kritik terhadap materialisme dan budaya performatif ditegaskan: karier dan harta hanyalah sarana, bukan tujuan. Ujungnya: kampus perlu menata budaya—kurikulum, bahasa, tata kelola—agar panggilan dosen hidup nyata; forum ini didorong berbuah aksi, bukan sekadar wacana.
Bedah buku ini menunjukkan bahwa “mumpuni” bukan sekadar gelar dan angka kredit, melainkan kesungguhan hati yang menyambungkan kepala–hati–tangan.
Dengan model hybrid, diskusi menjangkau lebih luas, mengundang tukar pengalaman dari berbagai medan pengabdian. Yang tersisa bukan hanya daftar rekomendasi, melainkan arah gerak: menjadikan kampus sebagai ruang pemulihan martabat manusia—tempat iman dan akal saling menguatkan, bahasa menjadi jembatan, dan ilmu nyata manfaatnya bagi masyarakat.
Leave A Comment